Liputan6.com, Jakarta – Pada tanggal 4 Mei 1994, Perdana Menteri
Israel Yitzhak Rabin dan Ketua
Palestine Liberation Organization (PLO) sekaligus Presiden pertama Palestina, Yasser Arafat mencapai kesepakatan di Kairo mengenai tahap pertama pemerintahan mandiri
Palestina.
Perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan Perjanjian Oslo yang ditandatangani di Washington, D.C. pada 13 September 1993. Perjanjian ini merupakan perjanjian langsung dan tatap muka pertama antara Israel dan Palestina dan mengakui hak Israel untuk hidup.
Hal ini juga dirancang sebagai kerangka hubungan masa depan antara kedua pihak, demikian mengutip dari History.com, Sabtu (4/5/2024).
Perjanjian Gaza-Jericho yang ditandatangani pada hari ini dalam sejarah 30 tahun lalu membahas empat isu utama, yaitu:
- Pengaturan keamanan
- Urusan sipil
- Masalah hukum
- Hubungan ekonomi
Hal ini mencakup penarikan militer Israel dari sekitar 60 persen Jalur Gaza (tidak termasuk permukiman Yahudi dan sekitarnya) dan Kota Jericho di Tepi Barat, tanah yang direbut oleh Israel selama Perang Enam Hari tahun 1967.
Dokumen tersebut juga mencakup kesepakatan pengalihan wewenang dari Pemerintahan Sipil Israel kepada Otoritas Palestina yang baru dibentuk, yurisdiksi dan kekuasaan legislatifnya, kepolisian Palestina, dan hubungan antara Israel dan Otoritas Palestina.
Pasukan Pertahanan Israel mundur dari Jericho pada 13 Mei dan dari sebagian besar Jalur Gaza pada 18-19 Mei 1994. Polisi dan pejabat Otoritas Palestina segera mengambil kendali.
Selama beberapa hari pertama terjadi serangkaian serangan terhadap pasukan Israel dan warga sipil di dan dekat Jalur Gaza. Arafat sendiri tiba di Gaza dengan sambutan yang penuh gejolak dan kacau pada tanggal 1 Juli.
Perjanjian Tidak Terpenuhi
Seiring berjalannya waktu, jadwal yang ditetapkan dalam perjanjian tidak terpenuhi, pengerahan kembali pasukan Israel melambat dan perjanjian baru dinegosiasikan.
Kritikus Israel terhadap perjanjian tersebut menyatakan bahwa Land for Peace (Tanah untuk Perdamaian) adalah Land for Nothing (Tanah untuk Ketiadaan).
Momentum menuju hubungan damai antara Israel dan Palestina sangat terguncang oleh pecahnya pemberontakan Palestina pada tahun 2000, yang dikenal sebagai ‘Intifada Kedua’. Ketegangan lebih lanjut terjadi pada proses ini setelah Hamas berkuasa pada pemilu Palestina tahun 2006
Sementara itu, mengutip dari politico.com, perjanjian tersebut juga menyerukan pembentukan pasukan polisi Palestina yang beranggotakan 9.000 orang. Mereka dilengkapi dengan senjata pribadi ringan, 120 senapan mesin sedang dan berat, dan 45 kendaraan lapis baja. Dari sudut pandang Israel, salah satu tugas utama pasukan ini adalah mencegah serangan terhadap warga Israel dari wilayah yang dikuasai Palestina.
Seiring berjalannya waktu, Palestina gagal memenuhi beberapa jadwal yang ditetapkan dalam kesepakatan tersebut dan, sebagai konsekuensinya, janji penempatan kembali Israel diperlambat atau dibatalkan seluruhnya.
Momentum menuju hubungan damai antara Israel dan Palestina tidak pernah pulih dari pecahnya pemberontakan Palestina pada tahun 2000 yang dikenal dengan Intifada Kedua.
Ketegangan tambahan terjadi pada proses perdamaian setelah Hamas, yang tercatat berupaya menghancurkan Israel, berkuasa di Gaza.